CerpenLiterasiPratama Media News

Baskoro 27 Hari Tanpa Kopi

Sebuah cerpen karya Sarkoro Doso Budiatmoko, alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat

Pratama Media News, cerita pendek (cerpen) berjudul “Baskoro 27 Hari Tanpa Kopi”  ini merupakan karya Sarkoro Doso Budiatmoko,  alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Iowa State University, Amerika Serikat.

Malam itu Baskoro menyambut hangat teman-temannya dan mempersilakan mereka masuk ke salah satu ruang di sebuah rumah makan. Pria ramah ini tampak riang-gembira dan cerah-ceria.

“Ayo … ayo, silahkan duduk, ngobrol-ngobrol dulu ya, jamuannya ditunggu dulu. Semoga enggak lama,” ujar Baskoro dengan antusias, menyambut dan menyalami tamu-tamunya satu persatu.

“Okey Bos (nama panggilan Baskoro), enggak usah repot-repot,” kata teman-temannya satu persatu sambil masuk ruangan yang tidak begitu luas, tapi cukup nyaman untuk diisi oleh 10 orang kawan akrab Baskoro.

Saat itu menjadi malam istimewa untuk Baskoro karena tepat jatuh hari ke 27 dia tidak minum kopi. Lelaki mapan dan mandiri di usia 40-an itu punya nazar akan mengundang makan minum teman-teman akrabnya jika bisa berhenti minum kopi dan malam ini perayaannya.

Ilustrasi Baskoro, sang pecinta kopi
Ilustrasi Baskoro, sang pecinta kopi – (Sumber: pixabay.com)

Bagi Baskoro, 27 hari tanpa kopi adalah sebuah pencapaian tersendiri. Waktu yang kurang dari satu bulan itu terasa berat dan lama sekali. Bayangkan, tidak satu cangkir pun kopi dia seruput selama itu, padahal biasanya dalam sehari tidak kurang dari lima cangkir kopi membasahi bibir dan kerongkongannya.

Seluruh teman dekat Baskoro paham betul kegemaran kawan mereka yang satu ini. Kalau bertamu ke rumahnya, hanya ada satu tawaran, minum kopi. Tidak sedia teh, sirup, apalagi soft drink. Pokoknya minum kopi dengan dua pilihan, kopi pahit atau kopi manis.

Kalau Baskoro bertamu ke rumah temannya, tidak ada lagi basa-basi tawaran. Teman-temannya, sudah sangat paham, minumnya pasti kopi. Kadang dia minta yang pahit atau di hari lain minta kopi dengan sedikit gula.

Teman karib Baskoro yang lain, Pramono, pernah bertanya, “Bos, itu istriku tanya kenapa kamu minum kopinya kadang manis kadang pahit sih?”

Baskoro menjawab sambil tertawa renyah, “Ha … ha … ha, kalau aku minta yang manis, itu maknanya hidupku di hari itu sedang agak pahit atau pahit sekali, sedangkan kalau aku minum kopi manis, itu artinya aku merasa masih ada yang manis di tengah-tengah kepahitan hidupku pada hari itu…. He … he…he.”

“Oooh, ….gituuuu, kayak Plato saja kamu ya,” kata Pramono.

Plato yang dimaksud adalah nama seorang filsuf legendaris asal Yunani.

“Plato atau Lato-lato….ha … ha … ha,” sahut Baskoro.

Suryo menyambung dengan kesimpulannya sendiri, “Kalau begitu, minum kopi pahit itu artinya hidupmu hari itu lagi menyenangkan ya? Duit banyak dan tidak ketemu masalah berat.”

“Iya Yo, dengan begitu kita jadi ingat, hidup itu memang kadang pahit dan seringkali manis,” kata Baskoro menggurui Suryo.

“Kirain kamu minum kopi hitam dan pahit karena punya penyakit gula.,” kata Pramono.

“Gak lah Pram. Kopi hitam itu hanya karena warna kopi memang hitam dari sononya dan kopi itu pahit juga karena rasa aslinya memang pahit,” kata Baskoro lagi, “Yang penting nih kawan, jangan sampai lupa bersyukur, pahit maupun manis, harus disyukuri karena paling tidak masih diberi nikmat bisa minum kopi, he … he … he.”

“Ha … ha … ha …ha,” mereka ketawa bersama, sepertinya tawa itu bermakna mereka sama-sama sering lupa bersyukur.

***

Baskoro bukan seorang peminum kopi kemarin sore. Masa kecilnya dilingkungi oleh orang-orang yang gemar minum kopi. Mulai dari Neneknya yang minum segelas kopi pada pagi hari dan segelas lagi pada sore hari hingga akhir hayatnya.

Lalu ibunya, bapaknya, pamannya pun peminum kopi, meskipun tidak sampai akhir hayat. Ibunya pada usia setengah baya beralih ke minum teh, katanya lebih ringan dan lebih sesuai dengan umurnya.

Bapaknya, entah pada umur berapa, beralih ke minur air putih, minuman yang dari segala sudut pandang, memang minuman terbaik untuk tubuh.

Baskoro mulai menyukai kopi dengan ikut “menyeruput” minuman kopi pagi dan sore milik nenek dan ibunya. Dari ikut menyeruput, lalu naik tingkat membuat minuman kopinya sendiri. Kala itu, dia tidak segan-segan menumbuk sendiri butiran-butiran biji kopi yang sudah matang disangrai neneknya.

Kebiasaan baskoro minum kopi semakin menjadi-jadi ketika dia tahu ternyata neneknya mengobati rasa pusing dan sakit kepalanya dengan minum kopi. Semakin menjadi-jadi ketika ternyata kopi juga membantunya tahan melek saat harus belajar sampai larut malam.

Hebatnya lagi, ketika Baskoro remaja menderita sakit kepala sebelah, dia pergi ke Dokter. Setelah nyak-nyuk dengan stetoskop di dada tipisnya, dokter ngomong, “Waaah ini sih obatnya enak, pulang dari sini minum kopi panas ya, langsung pyaaar.”

Baskoro, “Terimakasih Dok.”

Baskoro, ngibrit kegirangan dapat alasan minum kopi banyak-banyak. Belum ketemu kopi, migraine pun sudah minggat.

Cara Baskoro minum kopi cukup unik dan mengundang yang lain jadi kepengin. Diawali membasahi bibir dengan minuman hitam pekat itu, lalu dikecap-kecap dengan lidahnya dan pelan-pelan ditelannya teguk demi teguk.

Sebelum diteguk, kadang diputar-putar dulu di bawah lidahnya. Baskoro pernah mendengar, kata orang justru di situlah kopi kontak langsung dengan ujung syaraf. Rasanya seperti apa, hanya dia yang tahu, tetapi nikmatnya kopi sebenarnya hanya sampai ujung kerongkongan, sebelum meluncur dan berlabuh di lambung.

kopi
Secangkir kopi mampu membuat orang kecanduan – (Sumber: pixabay.com)

Entah benar atau salah, lelaki berperawakan sedang ini juga tersugesti dengan minum kopi. Segala macam sumber keluh kesah, masalah dan kepusingan hidup bisa kontan lenyap dengan secangkir kopi.

***

Begitulah, perjalanan waktu selalu membawa perubahan. Ketika sudah waktunya hidup di rantau, sendiri dan mandiri mencari nafkah, ketergantungannya pada kopi berubah, mulai terasa menjadi beban.

Kopi tidak setiap saat bisa didapat. Bukan karena harganya mahal tak terbeli, tetapi tidak setiap saat ada kopi dan tidak di setiap tempat menyediakan minuman kopi. Bahkan, Baskoro pernah ada dalam situasi, lebih mudah mendapatkan minuman keras daripada secangkir kopi.

Saat itulah Baskoro mulai berpikir bagaimana caranya berhenti minum kopi. Dia tidak mau terbelit masalah karena sulit memperoleh kopi.

Baskoro angkat telepon dan tanya ke bapaknya, “Pak, bagaimana caranya dulu Bapak bisa pindah dari suka minum kopi ke air putih dengan mudah, tanpa muntah-muntah?”

“Ya dengan cara mengganti minum kopi dengan minum air putih,” jawab Bapaknya.

Semudah itukah? Tanya Baskoro dalam hati. Namun, betul juga kata bapakku, orang berhenti merokok juga pasti dengan cara tidak merokok lagi.

Mulailah Baskoro mencoba satu hari berhenti minum kopi, berhasil. Esoknya dia minum kopi lagi. Selang beberapa hari kemudian dia mencoba berhenti lebih lama dan pada hari kelima, tidak kuat menahan sakit kepalanya, lalu pada hari keenam minum kopi lagi. Begitu seterusnya dengan mencoba berhenti lebih lama dan lebih lama.

Baskoro belum kuat menahan dan melawan pusing kepala, pegal-pegal di tengkuk, kurang bersemangat dan ngantuk saat beberapa hari berhenti minum kopi. Begitulah mungkin rasanya kalau mau berhenti dari kecanduan sesuatu.

Itu juga pendapat Suryo yang pernah berkomentar, “Wah, Bos, kayaknya kalau tidak ketemu kopi sehari saja, bisa sakau ya?“

“Ha … ha … ha, iya kali ya,” jawab Baskoro, sambil mengira-ira seperti itulah mungkin rasanya sakau.

***

Baskoro tidak mati semangat. Selalu mencoba dan mencoba lagi berhenti lebih lama dan lebih lama lagi. Inilah percobaan paling lama yang berhasil. Dia mencapai 27 hari berhenti minum kopi. Begitu istimewanya sampai-sampai dia ingin memberitahu teman-temannya tentang keberhasilannya itu.

Lalu Baskoro menyebarkan undangan untuk datang ke rumah makan tepat pada malam ke-27 dia berhenti minum kopi. Malam istmewa ini, malam perayaan pencapaiannya.

“Bro, ayo datang ya. Jangan telat, kalau datang telat tidak kebagian”

Suryo, Pramono, dan teman-teman paham betul kenapa Baskoro mengundang mereka untuk merayakan 27 hari tanpa kopi. Itu sama dengan 27 kali sakau. Sekali jatuh sakau bangun kembali, sakau lagi, bangun lagi, demikian terus berulang-ulang.

***

“Ayo Bos dimulai acaranya, mana sambutanmu,” kata salah satu teman Baskoro.

“Iya, sudah gak sabar mau nyamber mendoan nih,” kata teman Baskoro yang lain.

“Sudah bisa mulai disantap belum nih makanannya?” Sahut teman Baskoro yang lain lagi.

“Sabar Bro, sebentar lagi datang hidangan utama,” kata si empunya hajat,  Baskoro.

“Nah ini dia,” kata Baskoro.

Berbaris datang tiga pelayan rumah makan, masing-masing membawa satu nampan berisi cangkir-cangkir cantik dan tiga pelayan lagi masing-masing membawa ….

“Loh kopi lagi Bos?” kata teman-temannya rada bingung.

“Iya kopi lagi. Ayo kita minum kopi lagi. Cukup 27 hari saja berhenti minum kopi, selanjutnya, mari minum kopi,” ujar Baskoro lagi yang disambut dengan perasaan setengah tak percaya dari semua teman-temannya.

Ramai-ramailah mereka minum kopi, tetapi dijamin tidak mabuk. Kopi memang tidak memabukkan.

Purwokerto, 14 Mei 2023.

Sarkoro Doso Budiatmoko.

***

Judul: Baskoro 27 Hari Tanpa Kopi
Penulis: Sarkoro Doso Budiatmoko
Editor: JHK

 

Tentang Pengarang:

Sarkoro Doso Budiatmoko, lahir di Purbalingga, Jawa Tengah dari pasangan almarhum Bapak Pranoto dan almarhumah Ibu Fari’ah. Pendidikan hingga SLTA dijalaninya di kota kelahirannya ini,  sedangkan pendidikan tinggi ditempuhnya di IPB (1984), Bogor dan pascasarjana di Iowa State University (1996),  Amerika Serikat.

Sarkosro Doso
Sarkoro Doso Budiatmoko, penulis dan pengarang (Sumber: Pratama Media News)

Pengalamannya menjalani berbagai penugasan di Perum Perhutani memperkaya wawasan dan pemikirannya yang sering dituangkan di media massa. Topik tulisannya tidak terbatas pada latar belakang pendidikan dan pekerjaannya saja, tetapi juga menyangkut bidang ekonomi, sosial, budaya, dan sumberdaya manusia. Aktifitasnya menulis tidak surut meski sudah purna-tugas beberapa tahun lalu.

Penikmat buku dan bacaan ini juga dipercaya mengasuh rubrik Kolom di Majalah “Bina Media Berita Kehutanan & Lingkungan” yang diterbitkan oleh Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Tulisan Sarkoro Doso berjudul “Setelah PHL, Lalu?” pernah terbit di Majalah Duta Rimba Edisi 42 (Mar-April 2012) – Penerbit Perum Perhutani, Jakarta, Indonesia.

Kini rimbawan berpengalaman yang berasal dari Perum Perhutani Unit II Jawa Timur aktif menulis blog di Kompasiana. Beberapa tulisannya di platform asuhan Kompas online tersebut di antaranya artikel berjudl “Bijak Memilih: Orang, Pasangan, dan Pemimpin” yang terbit pada 20 Mei 2021 dan artikel berjudul “Hidup Akal Sehat” yang terbit pada 31 Mei 2021.

Penulis dikaruniai tiga orang anak. Saat ini dia menetap di Purwokerto dengan kesibukan menulis dan menjadi staf pengajar di Language Development Center (LDC), Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP).

***

Artikel Berkaitan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Check Also
Close
Back to top button